Minggu, 02 April 2017

MENGAPA SUB KONTRAKKAN ANAK KE TANGAN ORANG LAIN ???


Beberapa waktu lalu selepas isya’, saya, iin, dan ayahnya dikejutkan oleh suara anak tetangga yang sedang menangis di balkon rumahnya. Sebetulnya bukan kali itu saja kami mendengarnya menangis, namanya juga anak-anak. Tapi kali itu si anak menangis sampai meraung-raung. Dan yang lebih membuat kami kaget adalah suara si mbah nya yang berteriak “Diem! Diem!” dengan nada membentak. Namun si anak yang belum genap 2 tahun itu malah menangis semakin keras. Akhirnya si anak diajak masuk ke dalam rumah, sehingga suaranya tidak terdengar lagi, mungkin sungkan juga kalau mengganggu tetangga yang lain. Kami bertiga sama-sama speechless, lalu ayahnya iin bilang “Kasihan...mungkin kangen sama orang tuanya...”

Ya, si anak yang menangis itu memang tidak tinggal bersama ayah ibunya. Ia tinggal bersama mbah putrinya dan beberapa saudara yang lain di rumah itu. Ayah dan ibunya bekerja di jakarta dan baru mengunjungi si anak (di jogja) setiap sabtu pagi, lalu minggu sorenya sudah kembali lagi ke jakarta.

Suatu hari saya pernah bertanya pada si mbah putri “Wah apa nggak capek bu kalau (bapak ibunya si anak) harus bolak balik seperti itu setiap minggu?” Lalu beliau menjawab “Iya, saya sudah bilang sama ibunya ke sininya sebulan sekali saja, biar nggak capek..” Lah??! Sebulan sekali?? Ditinggal seminggu saja si anak sering menangis begitu, apalagi ditinggal sebulan?

Saya menghela nafas dalam-dalam. Cerita seperti ini sungguh tidak asing bagi saya, mungkin juga bagi Anda. Ayah dan ibu sama-sama bekerja, sehingga si anak yang masih kecil dititipkan pada kakek/nenek/baby sitter/daycare/pembantu/dll. Malah seorang teman yang juga membantu di sebuah daycare pernah bercerita ada seorang ibu hamil datang ke daycare itu, melihat-lihat, kemudian dengan yakin berkata “Pokoknya nanti anakku tak titipkan sini yaa..” Weleh weleh...belum juga lahir, sudah mau dititipin? Dan ternyata fenomena seperti ini tak hanya terjadi di keluarga dengan ekonomi menengah ke atas yang punya uang untuk menyewa baby sitter atau daycare, tapi juga keluarga ekonomi menengah ke bawah. Tetangga saya yang agak jauh pun menitipkan anaknya yang balita ke mbahnya, sebab si suami jualan di pasar X sementara si istri jualan di pasar Y.

Memang, setiap orang tua yang menitipkan anaknya untuk diasuh oleh orang lain punya alasannya masing-masing, mulai dari alasan membantu perekonomian keluarga sehingga keduanya sama-sama bekerja, atau ibu ikut bekerja di luar rumah sebab sudah sekolah tinggi-tinggi masa’ ijazah dan ilmunya nggak dipakai, alasan agar bisa berkarya dan bermanfaat untuk orang lain, serta alasan-alasan lainnya. Dan suami atau ayah sebagai pemimpin di keluarga pun merelakannya, hingga kompak untuk menitipkan anak yang masih balita atau bahkan bayi ke pihak ketiga.

Mungkin ada yang berpendapat Kan nggak masalah kami menitipkan anak ke kakek dan neneknya yang masih keluarga kandung... Kan kami menitipkannya ke baby sitter yang profesional... Kan sebelum dititipkan di daycare x kami sudah cek dulu keamanan kebersihan dll nya...

Monggo monggo saja bapak ibu...hanya, ada hal mendasar yang harus disadari oleh setiap orang tua, terutama yang menitipkan anak ke pihak ketiga.

Dalam sebuah seminar yang videonya saya dapatkan dari youtube, Bu Elly Risman (psikolog dan pakar parenting) berkata “Bukankah setiap sperma bertemu dengan sel telur, kita jadi baby sitternya Allah? Lalu kenapa sub kontrakkan anak ke tangan orang lain?”

Yap, ketika sprema bertemu dengan sel telur dan lahirlah seorang anak, sesungguhnya Allah menitipkan anak itu pada orang tuanya, bukan pada kakek, nenek, eyang, si mbah, om, tante, daycare, baby sitter, asisten rumah tangga, dll. Tapi pada AYAH DAN IBUNYA!

Allah meminta orang tua menjaga, merawat, dan mendidik titipanNya dengan baik, bukan sekedar memberi makan, pakaian, mainan, sekolah atau rumah.

Anak pun sesungguhnya membutuhkan kehadiran lahir batin, perhatian, sentuhan, kasih sayang, kata-kata yang baik dan didikan dari orang tuanya. Bukan dari ayah saja, bukan dari ibu saja, bukan dari kakek nenek daycare baby sitter dll, namun dari keduanya, dari AYAH DAN IBUnya. Sungguh, kehadiran fisik dan hati dari ayah dan ibu akan sangat sangat memberi arti bagi kehidupan seorang anak hingga akhir hayatnya. Lebih-lebih anak-anak usia bayi dan balita.

Rasulullah SAW membagi fase umur setiap manusia dalam ruang lingkup parenting dan pendidikan menjadi 3, yakni fase 7 tahun pertama, 7 tahun kedua, dan 7 tahun ketiga. Fase 7 tahun pertama adalah pondasi untuk 7 tahun kedua dan 7 tahun ketiga. Bila orang tua berhasil membesarkan, mendidik dengan tepat, serta menjalin hubungan yang baik dengan anak di fase 7 tahun pertama (golden age), ini akan menjadi bekal bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, serta memudahkan hubungan orang tua dengan anak di fase-fase berikitnya. Dan fase itu tak bisa kita ulang atau putar kembali!

Karena itu, masih di video yang sama, bu Elly berpesan pada para suami agar berkata pada istrinya “Tinggal di rumah, kamu asuh anak kita, hidup qona’ah (sederhana), bukan kantor dan uangku yang mencukupkan kita, tapi Allah yang mencukupkan kita”. Dan berpesan pada para istri “Kurangi sedikit kegiatan kalau punya anak lagi (usia) tanggung di rumah. Nanti pinterin anak orang, anak sendiri kedodoran”. Saya sepakat, memang salah satu dari ayah atau ibu harus di rumah untuk mengasuh anak, terutama yang masih di fase 7 tahun pertama. Di rumah pun tak berarti tidak bisa mendapat penghasilan dan menambah ilmu, kan? Apalagi sekarang internet dan teknologi dapat sangat membantu untuk itu.

Satu lagi, menjadi orang tua adalah pekerjaan yang amat sangat sangat berat, sehingga butuh ILMU yang cukup dan energi lahir batin yang besar untuk menjalaninya. Tak bisa sekedar mengandalkan bekal bagaimana cara orang tua kita dulu mendidik kita, sebab cara itu belum tentu tepat. Zaman berubah dan tantangan mendidik anak terus bertambah. Ilmu dan energi lahir batin itu juga harus dimiliki oleh siapapun pihak ketiga yang mengasuh anak kita. Tak heran bila si mbah di awal cerita saya tadi membentak cucunya. Saya yakin bukan karena tidak sayang. Tapi apalah daya, fisik si mbah/eyang/kakek/nenek memang tidak didesain untuk mengurus anak kecil.

Cukup banyak artikel tentang hal-hal apa yang harus dilakukan oleh orang tua sebelum menitipkan anaknya pada kakek nenek, baby sitter, daycare, dll. Anda bisa mencari dan membacanya. Saya hanya ingin mengajak setiap orang tua yang menitipkan anaknya pada pihak ketiga untuk bertanya pada hati nurani masing-masing dan menjawab dengan jujur “Mengapa saya sub kontrakkan anak ke tangan orang lain? Jawaban apa yang akan saya beri ketika kelak Allah mempertanyakannya?”. Bila sudah siap dengan jawabannya, silahkan tentukan langkah selanjutanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar